Berandasehat.id – Liburan menjadi waktu yang ditunggu anak-anak, tetapi dapat memicu stres, yang bisa terwujud dalam cara yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Schenike Massie-Lambert, koordinator program Rutgers Children’s Center for Resilience and Trauma Recovery di University Behavioral Health Care, membahas cara-cara untuk menjaga agar anak-anak tidak stres selama liburan dikutip Medicalxpress.
Mengapa liburan bisa membuat stres bagi anak-anak?
Anak-anak sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Selama musim liburan, banyak hal berubah di lingkungan dan anak-anak sering dihadapkan pada pengasuh orang dewasa yang mungkin stres tentang kewajiban keuangan, sedih karena tidak adanya orang yang dicintai atau kewalahan dengan banyak komitmen.
Bagaimana orang dewasa ini secara emosional menanggapi stres mereka, baik atau buruk, mencontohkan ekspresi dan pengelolaan emosi kepada anak-anak di sekitar mereka.
Selama liburan, keluarga juga mengubah rutinitas harian mereka. Perubahan pada waktu makan khas anak, pilihan makanan, seperti makanan cepat saji versus makanan yang disiapkan di rumah, dan waktu tidur dapat menyebabkan perubahan suasana hati dan perilaku yang signifikan.
Bagaimana orang dewasa dapat mengetahui bahwa seorang anak merasa kewalahan atau stres?
Secara umum, setiap perubahan mendadak dari perilaku khas anak membutuhkan perhatian tambahan dan mungkin percakapan. Jika pengasuh memperhatikan perubahan pola tidur, kebiasaan makan, suasana hati, atau interaksi sosial anak mereka, mereka harus menanyakan tentang perubahan mendadak ini dan membawa seorang profesional jika diperlukan.
Perlu diingat bahwa banyak anak bergumul dengan bahasa emosional dan secara perkembangan mungkin tidak berada pada tahap di mana mereka dapat membagikan pengalaman emosional mereka. Dalam kasus ini, anak-anak mungkin hadir dengan masalah fisik yang tidak terkait dengan kondisi medis. Anak-anak yang mengalami stres sering melaporkan hal-hal seperti sakit perut, sakit punggung, atau sakit kepala.

Massie-Lambert menawarkan tip berikut untuk memberikan dukungan serta mendiskusikan stres dengan anak-anak. Orang dewasa dapat mendukung anak-anak ketika mereka merasa stres dengan sejumlah langkah berikut:
1. Ekspresi emosional dan coping
Pengasuh adalah guru pertama anak dan diposisikan secara unik untuk mengajar dan melatih mereka melalui masa-masa sulit. Pengasuh dapat bekerja untuk meningkatkan kosa kata emosional anak dengan menggunakan label emosional untuk pengalaman mereka sendiri dan menawarkan label kepada anak ketika mereka tidak yakin dengan apa yang mereka rasakan.
Pengasuh juga dapat menormalkan gagasan bahwa kita semua harus bekerja untuk menjaga kesehatan dengan mendiskusikan kebutuhan mereka sendiri, seperti untuk istirahat, dan mengajak anak untuk melakukan aktivitas bersama mereka, seperti berjalan-jalan, mendengarkan musik atau menulis jurnal. Ini juga akan mengurangi stigma yang terkait dengan membahas emosi dan mencari dukungan.
2. Pertahankan rutinitas
Rutinitas yang bekerja untuk anak dan keluarga harus dipertahankan karena mendukung rasa penguasaan dan keamanan anak. Namun, jika rutinitas yang ada menyebabkan stres yang tidak semestinya, hal itu dapat dibayangkan kembali untuk mendukung kebutuhan keluarga saat ini dengan lebih baik.
3. Hindari penjadwalan berlebihan
Sulit bagi orang dewasa untuk mengelola stres dan kelelahan yang datang bersamaan dengan kelebihan jadwal, dan hal yang sama berlaku untuk anak-anak. Pengasuh dapat mendukung remaja yang kewalahan dengan menetapkan waktu untuk istirahat dan menetapkan batasan yang lebih tegas di sekitar waktu mereka dengan mengatakan ‘tidak’
4. Dorong aktivitas fisik
Mungkin orang tua/pengasuh tergoda untuk membiarkan anak-anak terlalu menikmati barang elektronik seperti televisi dan permainan, terutama selama bulan-bulan musim dingin. Namun, tetap aktif secara fisik tidak hanya bagus untuk kesehatan fisik anak, tetapi juga merupakan alat yang hebat untuk mengelola stres dan melepaskan ketegangan dalam tubuh.
Massie-Lambert juga berbagi tips mengelola stres anak-anak tanpa membuat mereka stres. Di antaranya, dukung anak yang kesulitan mengelola stres dengan membagikan pengamatan pengasuh/orang tua dan tanda-tanda kesusahan yang terlihat. Ini membuat anak tahu bahwa orang tua terlibat, peduli, dan bersedia membantu.
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah menormalkan dan memvalidasi emosi. Menormalkan dan memvalidasi pengalaman emosional anak akan membantu karena memberikan kesempatan lain untuk mengurangi stigma yang terkait dengan keinginan dan kebutuhan bantuan tambahan. Strategi ini penting karena berpotensi meningkatkan dukungan dan sumber daya yang tersedia untuk anak.
Selain itu, berdayakan mereka dengan mempraktikkan pemecahan masalah. Mintalah anak untuk merenungkan penyebab stres sebelumnya dan apa yang membantu dalam mengarahkannya. “Dorong anak untuk mengidentifikasi solusi tambahan,” ujar Massie-Lambert.
Berdayakan mereka dengan mengajak anak-anak memilih teknik coping, selanjutnya tawarkan untuk melakukannya bersama. “Mendorong anak untuk memilih strategi coping meningkatkan keterlibatan, otonomi, dan kemanjuran diri. Ini juga memberi orang tua/pengasuh kesempatan untuk memberikan dukungan tambahan,” imbuh Massie-Lambert. (BS)