Berandasehat.id – Sebuah studi Yale telah menemukan bahwa paparan obat antidepresan yang umum memicu respons peradangan pada selaput janin manusia, juga dikenal sebagai kantung ketuban. Efeknya dapat mengungkapkan faktor yang mendasari apa yang ditemukan sebagai peningkatan risiko kelahiran prematur di antara mereka yang menggunakan antidepresan selama kehamilan, serta kemungkinan terapi target untuk mengurangi risiko tersebut.

Studi terdahulu menyebut, sebanyak 13% ibu hamil akan menggunakan antidepresan selama masa kehamilan. Namun penelitian telah menunjukkan bahwa jenis antidepresan yang umum, yang dikenal sebagai inhibitor reuptake serotonin (SRI), dapat memiliki berbagai efek buruk pada janin dan kehamilan. Bukti terkuat menunjukkan peningkatan risiko pecahnya ketuban pada orang hamil terlalu dini dan kelahiran prematur berikutnya.

Oleh karena itu, orang hamil dengan penyakit kejiwaan menghadapi keputusan sulit apakah akan menghentikan pengobatan.

“Sulit untuk tiba-tiba menarik orang hamil dari obat yang mereka butuhkan,” kata Vikki Abrahams, profesor kebidanan, ginekologi, dan ilmu reproduksi di Yale School of Medicine. “Jika kami dapat mengidentifikasi cara untuk mencegah hasil kehamilan yang merugikan, kami dapat mengurangi risiko pengobatan SRI.” 

Abrahams merupakan salah satu penulis senior studi tersebut bersama dengan Kimberly Yonkers di University of Massachusetts Chan Medical School.

Pecahnya air ketuban/amnion mengacu pada pecahnya kantung ketuban, dan itu adalah tanda bahwa persalinan telah dimulai atau akan segera terjadi. Ketika itu terjadi sebelum kehamilan mencapai aterm, itu dikenal sebagai ketuban pecah dini.

“Ketika terjadi terlalu dini, itu memicu persalinan prematur, dan kita tahu bahwa prematur sangat merugikan bayi dan dapat memiliki konsekuensi kesehatan jangka panjang bagi anak di kemudian hari,” kata Abrahams.

Peradangan pada selaput janin, yakni kantung ketuban yang membungkus janin dan cairan ketuban, diduga menjadi salah satu penyebab ketuban pecah dini sebelum waktunya. Untuk melihat apakah peradangan berperan dalam efek SRI yang merugikan kehamilan, Abrahams dan rekannya menganalisis efek Prozac, juga dikenal sebagai fluoxetine, pada membran janin.

Untuk penelitian ini, para peneliti menggunakan sampel jaringan membran janin manusia yang disumbangkan ke Biobank Ilmu Reproduksi Universitas Yale dan dikumpulkan dari kehamilan tanpa komplikasi yang dilahirkan melalui operasi caesar. Mereka mengekspos beberapa sampel jaringan ke Prozac dan membandingkannya dengan sampel yang tidak terpapar obat.

Mereka menemukan bahwa Prozac meningkatkan tingkat aktivitas molekul yang disebut p38-MAPK yang memediasi peradangan. Molekul itu, pada gilirannya, menyebabkan peningkatan interleukin 6, protein kecil yang disebut sitokin yang memicu peradangan.

Para peneliti kemudian menganalisis sampel selaput janin yang dikumpulkan dari orang yang telah menggunakan Prozac selama kehamilan, membandingkannya dengan sampel dari orang yang tidak menggunakan antidepresan, dan menemukan bahwa mereka juga mengalami peningkatan kadar p38-MAPK aktif.

Temuan mengungkapkan target potensial untuk pengobatan. “Ada bukti pada model penyakit lain yang menargetkan sitokin peradangan bisa menjadi pilihan,” kata Abrahams. “Orang dengan lupus, misalnya, berisiko lebih tinggi untuk hasil kehamilan yang merugikan dan ada uji klinis yang sedang dilakukan di mana pasien ini dirawat dengan antibodi yang menargetkan sitokin tertentu. Jadi di sini, antibodi anti-interleukin 6, misalnya, layak untuk diinvestasikan.”

Pada akhirnya, penelitian ini mengungkapkan jalur pensinyalan untuk menyelidiki lebih lanjut, yang dapat menghasilkan target pengobatan yang lebih baik.

Ke depan, Abrahams tertarik untuk mengungkap bagaimana SRI seperti Prozac bekerja pada selaput janin untuk meningkatkan p38-MAPK, bagaimana SRI lain mempengaruhi selaput janin, dan apakah antidepresan jenis lain memiliki efek serupa.

Untuk saat ini, mengetahui bahwa SRI dapat menyebabkan peradangan pada selaput janin akan membantu pengambilan keputusan dan manajemen klinis, kata Abrahams.

Temuan ini dipublikasikan pada 13 Desember di Journal of Reproductive Immunology. (BS)

Advertisement