Berandasehat.id – Daging olahan menjadi bagian integral dari perjamuan, mulai acara barbekyu hingga sosis goreng sebagai kudapan. Namun telah mendengar tentang hubungan antara daging olahan dan kanker kolorektal, yang membunuh lebih dari 5.000 orang Australia setiap tahunnya. 

Orang Australia makan banyak daging, dan sebagian besar dari itu diproses. Menurut data dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), warga Negeri Kanguru mengonsumsi sekitar 110 kilogram per orang per tahun pada 2018, nomor dua setelah Amerika Serikat. Berdasarkan survei pola makan nasional terakhir pada tahun 2011–12, hingga seperempat dari daging yang dikonsumsi telah diasinkan, diawetkan, difermentasi, diasapi, atau diproses dengan cara lain.

Daging Olahan sebagai Karsinogen

Pada 2015, International Agency for Research on Cancer (IARC) di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai lebih dari 800 penelitian untuk memahami hubungan antara daging olahan dan kanker. Studi mengecualikan faktor penyebab kanker lainnya seperti obesitas, sehingga efek daging olahan dapat diisolasi.

Kelompok Kerja IARC diketuai oleh Profesor Bernard Stewart dari Kedokteran & Kesehatan UNSW, yang merupakan pakar karsinogenesis lingkungan (penyebab kanker) yang diakui secara internasional.

Akhirnya IARC mengklasifikasikan daging olahan sebagai karsinogen, artinya mereka menemukan cukup bukti bahwa mengonsumsi daging olahan menyebabkan kanker kolorektal.

Jadi, bagaimana cara kerjanya? Ada beberapa penjelasan, yang pertama dan terpenting adalah nitrit yang ditemukan pada produk daging olahan.

“Daging olahan, setidaknya secara historis, telah diproses menggunakan natrium nitrit,” kata Prof. Stewart. Nitrit tersebut dapat bereaksi dengan molekul dalam tubuh membentuk senyawa N-nitroso yang merupakan zat penyebab kanker.

Memasak daging olahan, terutama dengan api besar atau api terbuka, juga bisa menjadi bagian dari masalah.

“Ada juga karsinogen yang tidak ada dalam daging tetapi dihasilkan selama memasak. Misalnya, hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dan amina heterosiklik (HCA),” kata Prof. Stewart.

Label Peringatan Daging Olahan

Jika daging olahan bersifat karsinogen, haruskah kemasan sosis dan bacon diberi label peringatan, seperti rokok? Menurut Prof. Stewart, tidak sesederhana itu.

“Di satu sisi, bukti tentang penyebab kanker akibat konsumsi daging olahan sama definitifnya dengan bukti bahwa asap tembakau dan asbes menyebabkan kanker paru-paru. Di sisi lain, tingkat tindakan pencegahan yang sama sama sekali tidak diperlukan,” bebernya.

Karsinogen yang berbeda memiliki tingkat dampak yang berbeda pada risiko kanker. Untuk asap tembakau, dampaknya tinggi: risiko kanker paru seumur hidup pada bukan perokok adalah 1% dan pada perokok berat adalah 25%. Namun, bagi seseorang yang sering mengonsumsi daging olahan, risiko kanker kolorektal seumur hidupnya meningkat dari 5% menjadi 6%.

Artinya, meski ada bukti kuat bahwa mengonsumsi daging olahan menyebabkan kanker kolorektal, dampak sebenarnya terhadap risiko kanker relatif kecil.

Tips Mengurangi Risiko Kanker Kolorektal

Meskipun makan salami mungkin tidak berbahaya seperti merokok atau menghirup partikel asbes, hal itu berkontribusi terhadap kanker. Tapi mungkin ada cara untuk menangkal efek daging olahan di usus, setidaknya sebagian. Ini termasuk makan makanan seperti buah-buahan, sayuran dan biji-bijian.

Associate Professor Sara Grafenauer dari UNSW Medicine & Health, yang merupakan Ahli Diet Praktisi Terakreditasi, sedang meneliti bagaimana makan biji-bijian utuh dapat melindungi dari kanker kolorektal. Biji-bijian utuh dapat memiliki efek tidak langsung dengan melawan obesitas, tetapi juga secara langsung mencegah aktivitas karsinogenik di dalam usus. Yang penting, pola diet dengan biji-bijian dapat berarti pencegahan penyakit, menghemat jutaan biaya perawatan kesehatan.

“Gandum utuh adalah kumpulan nutrisi yang memiliki sifat anti-karsinogenik,” terang/Prof Grafenauer. “Ini mengandung banyak senyawa yang merangsang aktivitas antioksidan di usus dan bersifat protektif.”

“Selain itu, karena biji-bijian berserat, mereka juga dapat mengikat karsinogen dan mengeluarkannya dari usus,” imbuhnya.

Lantas, setelah mempertimbangkan risiko mengonsumsi daging olahan, apakah cukup aman menyantap salami? Jawabannya adalah “ya” karena gigitan bukanlah masalahnya. Peningkatan risiko kanker dapat diukur pada orang yang mengonsumsi daging olahan secara teratur dan setiap hari, demikian dilaporkan MedicalXpress. (BS)

Advertisement