Berandasehat.id – Berbulan-bulan setelah COVID-19, orang yang sebelumnya terinfeksi dengan gejala neuropsikiatri persisten memiliki aktivitas otak abnormal selama tes memori, menunjukkan lebih sedikit aktivitas di daerah otak yang biasanya digunakan untuk tugas memori, tetapi lebih banyak aktivitas di area otak lainnya, demikian menurut penelitian baru yang diterbitkan di 26 April 2023 di jurnal Neurologi edisi online.
Terlepas dari perubahan ini dan keluhan masalah ingatan, konsentrasi, dan kelelahan yang berkelanjutan, orang yang terinfeksi COVID-19 memiliki skor tes kognitif yang serupa dengan mereka yang tidak pernah memiliki riwayat COVID-19. Namun, orang yang menderita COVID dalam durasi lama (long Covid) memiliki aktivasi otak yang lebih besar pada tugas memori kerja dibandingkan dengan orang tanpa infeksi COVID-19 sebelumnya.
Studi tersebut tidak membuktikan bahwa COVID-19 menyebabkan perubahan pada otak. Itu hanya menunjukkan asosiasi.
“Aktivitas yang lebih besar terjadi di luar jaringan otak memori kerja normal, di mana perubahan seperti itu sering terlihat pada pasien dengan cedera otak,” kata penulis studi Linda Chang, MD, MS, dari University of Maryland School of Medicine di Baltimore.
“Orang-orang yang menderita COVID-19 ini memiliki gejala kelelahan dan nyeri, dan mengembangkan gejala kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi, dengan defisit pada jaringan mode default otak, dan perubahan aktivitas otak di daerah otak alternatif untuk mempertahankan fungsinya,” lanjut Chang dikutip laman MedicalXpress.
Studi ini melibatkan 29 orang yang rata-rata terinfeksi COVID-19 tujuh bulan sebelumnya dan memiliki setidaknya satu gejala neuropsikiatri yang sedang berlangsung. Sembilan dari orang-orang ini dirawat di rumah sakit karena COVID-19.

Ilustrasi penyintas Covid-19 (dok. ist)
Selanjutnya, kelompok pasca-COVID dibandingkan dengan 21 orang yang tidak memiliki riwayat COVID-19 yang memiliki usia, status kesehatan, dan status vaksinasi yang sama.
Semua peserta menyelesaikan tes yang mengevaluasi keterampilan berpikir dan memori, kesehatan emosional, gerakan, serta mengukur gejala depresi, kecemasan, kelelahan, dan rasa sakit. Mereka juga menjalani pemindaian otak MRI fungsional saat mereka melakukan tiga tugas untuk mengevaluasi memori kerja. Pemindaian menunjukkan area otak mana yang aktif selama tes.
“Meskipun mayoritas orang yang memiliki COVID-19 dalam penelitian kami melaporkan masalah berkelanjutan dengan konsentrasi dan ingatan, mereka memiliki skor pada berbagai tes keterampilan berpikir yang serupa dengan mereka yang tidak memiliki riwayat COVID-19,” kata Chang.
Dia menambahkan, namun aktivitas otak mereka berbeda dari orang yang tidak memiliki COVID-19 sebelumnya. “Hal itu menunjukkan bahwa otak mereka mengompensasi kekurangan itu dengan mengatur ulang jaringan untuk mempertahankan kinerjanya,” terang Chang.
Namun, kelompok pasca-COVID memiliki skor tes ketangkasan dan daya tahan motorik yang lebih buruk daripada kelompok bukan COVID. Mereka juga melaporkan lebih banyak perasaan negatif, seperti kemarahan dan kesedihan, dan lebih banyak stres dan skor yang lebih rendah untuk kepuasan, serta makna dan tujuan hidup.
Selain itu, orang-orang pasca-COVID memiliki skor lebih tinggi untuk depresi, kecemasan, kelelahan, dan rasa sakit. Orang-orang dalam kelompok pasca-COVID yang mengalami perubahan lebih besar dalam aktivitas otaknya cenderung memiliki skor yang lebih buruk di banyak domain gejala ini.
Keterbatasan penelitian adalah bahwa hal itu dilakukan terutama selama pandemi fase varian Delta di Amerika Serikat, sehingga hasilnya tidak serta merta menunjukkan apakah varian virus corona yang lebih baru dapat mempengaruhi otak dengan cara yang sama. Selain itu, karena tes antibodi tidak dilakukan pada mereka yang tidak melaporkan adanya COVID-19 sebelumnya, ada kemungkinan mereka mengalami infeksi sebelumnya tanpa gejala. (BS)