Berandasehat.id – Kondisi pasien asma di Indonesia masih membutuhkan pengobatan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Berdasarkan studi SABINA (SABA Use in Asthma), menunjukkan bahwa 37% pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega short-acting beta-agonist (SABA) ≥3 kanister/tahun, di mana jumlah resep tersebut justru dapat meningkatkan risiko serangan asma yang lebih parah.

Laporan strategi GINA (Global Initiative for Asthma) 2019-2022 menunjukkan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin, bahkan hanya dalam 1-2 minggu, justru kurang efektif, dan menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran napas, serta dapat mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan. 

Para ahli asma percaya bahwa “paradoks asma” merupakan faktor penting dalam tantangan penanganan asma, di mana ketergantungan yang berlebihan terhadap inhaler pelega SABA telah dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit, terutama karena inhaler pelega SABA telah menjadi lini pertama terapi asma selama lebih dari 50 tahun.

Menurut Dr. H. Mohamad Yanuar Fajar, Sp.P, FISR, FAPSR, MARS dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, pasien asma di Indonesia cenderung menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan dengan inhaler dengan kandungan ICS (Anti-inflamasi melalui inhaler). “Alasannya karena SABA dirasakan dapat memberi efek lega secara cepat, dan telah menjadi lini pertama terapi asma sejak lama,” ujarnya di acara temu media bertema ‘Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma’ di Jakarta, baru-baru ini. 

Yanuar menambahkan, sebenarnya penggunaan inhaler pelega SABA secara teratur, dapat mengurangi efek atau manfaatnya, sehingga untuk mendapatkan efek yang sama, diperlukan lebih banyak inhalasi atau obat. Penggunaan SABA secara berlebih dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma, rawat inap karena asma, bahkan kematian. “Selain itu, pengobatan asma dengan hanya menggunakan inhaler pelega SABA tidak lagi direkomendasikan, karena SABA tidak mengatasi peradangan yang mendasari asma,” ujarnya. 

Ilustrasi inhaler SABA (dok. dreamstime)

Sebagai ganti pemakaian SABA, pasien asma harus mendapat pengobatan yang mengandung ICS (antiradang), contohnya kombinasi ICS-Formoterol, untuk mengurangi risiko serangan asma. “Pasien asma dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk memastikan kondisi asma terkontrol dan mendapatkan tindakan yang tepat, bukan hanya mencari pengobatan instan saat serangan asma muncul,” imbuh Yanuar.

Untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien asma di Indonesia, kampanye ‘Stop Ketergantungan’ pun digagas. Kampanye ini bertujuan untuk mengukur risiko ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA dan untuk menjembatani diskusi antara tenaga kesehatan profesional dan pasien asma untuk pengobatan asma yang optimal.

Untuk menumbuhkan kesadaran pasien asma akan kondisi mereka, kampanye ‘Stop Ketergantungan’ menyediakan media digital berbasis bukti yaitu tes ketergantungan pelega, yang dapat dibuka di www.stopketergantungan.id untuk menilai tingkat ketergantungan pasien terhadap inhaler pelega SABA. 

Tes itu diadaptasi dari Kuesioner Risiko SABA yang telah divalidasi. Dengan mengikuti tes ini, pasien asma akan memahami risiko dan kecenderungan ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA, sehingga dapat berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional untuk menentukan langkah selanjutnya dalam pengobatan dan penanganan asma yang mereka butuhkan. (BS)

Advertisement