Berandasehat.id – Tingkat konsumsi antibiotik global meningkat 46 persen dalam dua dekade terakhir, menurut studi pertama yang memberikan perkiraan longitudinal untuk konsumsi antibiotik manusia yang mencakup 204 negara dari tahun 2000 hingga 2018, yang diterbitkan di Lancet Planetary Health oleh Global Research on Antimicrobial Resistance ( GRAM) projek.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat merupakan pendorong penting terjadinya infeksi yang resisten (tidak mempan) terhadap obat, namun data tentang konsumsi antibiotik masih langka.

GRAM, yang melibatkan para peneliti dari Universitas Oxford, Unit Penelitian Kedokteran Tropis Mahidol Oxford (MORU), dan Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan (IHME), menggunakan pendekatan baru yang menerapkan teknik pemodelan statistik, dan menggabungkan berbagai sumber data dan jenis, seperti survei rumah tangga skala besar di negara berpenghasilan rendah dan menengah, data penjualan farmasi, dan data konsumsi antibiotik dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC).
Studi ini memberikan analisis komparatif dari total tingkat konsumsi antibiotik pada manusia secara global, yang dinyatakan dalam metrik WHO dari dosis harian yang ditentukan (DDD) per 1000 populasi per hari. Ini setara dengan proporsi orang yang menerima antibiotik pada satu hari (pada setiap hari di tahun itu) di negara tertentu.
“Memahami pola konsumsi antibiotik global dapat membantu kita mengatasi sejumlah tantangan kesehatan masyarakat, mulai dari memerangi infeksi yang resisten terhadap obat hingga menyediakan akses ke pengobatan dasar,” kata Dr. Annie Browne, ilmuwan data, pemodel geospasial GRAM, dan penulis pertama studi tersebut. .
Studi menemukan sejumlah temuan kunci, di antaranya:
1. Tingkat konsumsi antibiotik yang tinggi terlihat di Amerika Utara, Eropa dan Timur Tengah, yang kontras dengan tingkat konsumsi yang sangat rendah di Afrika sub-Sahara dan sebagian Asia Tenggara.
2. Tingkat konsumsi antibiotik total menunjukkan variasi hampir sepuluh kali lipat antar negara, mulai dari serendah 5,0 DDD hingga 45,9 DDD per 1000 penduduk per hari.
3. Antara tahun 2000 dan 2018, tingkat konsumsi antibiotik global meningkat sebesar 46% (dari 9,8 menjadi 14,3 DDD per 1000 populasi per hari).
4. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, tingkat konsumsi tetap stabil antara tahun 2000 dan 2018
5. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, ada peningkatan 76% yang diamati antara tahun 2000 dan 2018 (dari 7,4 menjadi 13,1 DDD per 1000 per hari).
6. Peningkatan terbesar dalam tingkat konsumsi antibiotik terlihat di wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah (kenaikan 111%) dan Asia Selatan (116%).
7. Variasi besar dalam proporsi kelas antibiotik yang digunakan dalam konteks geografis yang berbeda.
8. Level tertinggi konsumsi penisilin spektrum luas diamati di super-wilayah berpenghasilan tinggi dan terendah di Asia Selatan.
9. Di Asia Selatan, tingkat konsumsi fluoroquinolones meningkat 1,8 kali lipat dan sefalosporin generasi ketiga 37 kali lipat selama masa studi.
“Temuan ini mengungkapkan tugas besar ke depan, menerapkan dan menyampaikan Rencana Aksi Global WHO tentang Resistensi Antimikroba, yang bergantung pada pengoptimalan penggunaan antibiotik dan mengurangi kejadian infeksi,” tutur Profesor Christiane Dolecek, penulis utama studi tersebut dan pemimpin ilmiah GRAM yang berbasis di Oxford.
Prof Dolecek menekankan pentingnya mengekang permintaan antibiotik yang tidak perlu dan memerangi resistensi antimikroba dengan meningkatkan air minum dan sanitasi, cakupan vaksin dan ketersediaan tes diagnostik cepat, sembari meningkatkan akses dan pengelolaan antibiotik kapan dan di mana saat dibutuhkan.
“Kami berharap bahwa platform seminal dan tolok ukur konsumsi serta penggunaan antibiotik tingkat negara global pertama selama periode 19 tahun hingga era pra-COVID-19 dapat membantu menginformasikan intervensi masa depan untuk mengoptimalkan penggunaan dan konsumsi antibiotik,” tandas Prof Dolecek. (BS)