Berandasehat.id – Perhatian, kasus ringan COVID-19 sekalipun dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Rata-rata, orang dewasa paruh baya dan lebih tua yang sakit COVID menunjukkan tanda-tanda penyusutan jaringan di area otak yang berkaitan dengan indera penciuman, demikian berdasar riset terkini.
Penelitian menemukan, orang yang terpapar COVID juga cenderung lebih kesulitan menyelesaikan tugas mental yang kompleks, jika dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat COVID-19. Hal ini menjadi efek yang paling mencolok di antara orang dewasa yang lebih tua.
Para ahli mengatakan temuan itu memperkuat bukti bahwa bahkan COVID-19 ringan dapat menyebabkan defisit yang dapat dideteksi di otak. Hal itu bisa diketahui karena para peneliti memiliki akses ke pemindaian otak yang diambil dari orang-orang sebelum dan sesudah mereka terinfeksi. Pemindaian itu membantu membedakan perubahan otak yang terkait dengan COVID-19 dari kelainan apa pun yang mungkin sudah ada.

“Kami masih belum bisa memastikan dengan kepastian 100% bahwa ada efek kausal (sebab akibat) dari infeksi,” kata pemimpin peneliti Gwenaelle Douaud, seorang profesor di Universitas Oxford, di Inggris dalam laporan yang dikutip Healthday.
“Tapi,” tambahnya, “kita dapat menguraikan efek yang diamati dari perbedaan yang mungkin telah ada sebelumnya di otak para peserta sebelum mereka terinfeksi SARS-CoV-2.”
Kembangkan Gejala Long COVID
Namun, masih ada pertanyaan kunci. Apa yang menyebabkan otak berubah? Penelitian terbaru memperkirakan bahwa hingga 30% orang dengan COVID-19 mengembangkan gejala ‘Long COVID’ yang mengganggu bahkan setelah mereka ‘mengalahkan’ infeksi. Daftar tersebut termasuk kelelahan, sakit kepala, sesak napas, indera penciuman dan pengecap tumpul, serta masalah dengan memori dan konsentrasi yang dijuluki ‘brain fog’.
Para ahli masih belum tahu apa yang menyebabkan Long COVID atau mengapa bisa menyerang setelah infeksi ringan. Satu teori menyalahkan aktivasi sistem kekebalan yang berlebihan, yang menyebabkan peradangan yang meluas di tubuh.
Joanna Hellmuth adalah ahli saraf di University of California, San Francisco, yang mempelajari gejala pasca-COVID. Dia mengatakan tidak jelas apa yang mungkin menyebabkan perubahan otak yang terlihat dalam penelitian ini.
Tapi Hellmuth mengatakan fakta bahwa penyusutan jaringan terjadi di area yang berhubungan dengan bau menunjukkan satu kemungkinan kurangnya input sensorik. Khususnya pada masa gelombang awal pandemi, COVID-19 umumnya menyebabkan orang kehilangan indera penciuman.
Hellmuth mencatat bahwa perubahan rata-rata otak bisa dibilang ‘kecil’ dan tidak berarti bahwa orang dengan COVID-19 ringan menghadapi prospek ‘degenerasi’ otak.
Studi yang dipublikasikan secara online pada 7 Maret di jurnal Nature, melibatkan 785 orang dewasa Inggris berusia 51 hingga 81 tahun. Semuanya telah menjalani pemindaian otak sebelum pandemi, sebagai bagian dari projek penelitian yang disebut UK Biobank. Responden kembali untuk pemindaian kedua selama pandemi.
Dalam kelompok itu, 401 tertular COVID-19 di beberapa titik antara dua pemindaian otak, sementara 384 tidak. Hampir semua yang jatuh sakit, sebanyak 96%, memiliki kasus yang lebih ringan. Pemindaian kedua dilakukan rata-rata 4,5 bulan setelah mereka sakit.
Tim Douaud mengatakan, rata-rata kelompok COVID menunjukkan kehilangan jaringan yang lebih besar di area otak tertentu yang terkait dengan penciuman, ditambah pengurangan yang lebih besar dalam ukuran otak secara keseluruhan. Peneliti menemukan efeknya sebesar 0,2% hingga 2% kehilangan jaringan ekstra.
Douaud setuju bahwa kurangnya input sensorik mungkin menjelaskan perubahan di area otak yang berhubungan dengan penciuman. Namun, kata dia, timnya tidak mengetahui apakah para peserta justru kehilangan indera penciumannya. Jadi mereka tidak bisa mencari korelasi antara gejala tersebut dan perubahan otak.
Para peneliti mampu melihat kinerja peserta pada beberapa tes standar ketajaman mental. Dan lagi, jika dirata-rata, kelompok COVID-19 menunjukkan penurunan yang lebih besar.
“Kesenjangan paling jelas di antara orang dewasa tertua,” terang Douaud. Orang-orang berusia 70-an yang menderita COVID rata-rata memburuk 30%, dibandingkan dengan 5% di antara rekan-rekan mereka yang bebas COVID.
Ada beberapa bukti bahwa penurunan kinerja berkorelasi dengan penyusutan struktur otak yang terlibat dalam pemikiran dan keterampilan mental lainnya. “Ada kemungkinan bahwa perubahan otak yang terkait dengan COVID-19 sembuh dari waktu ke waktu,” ujar Douaud.
“Cara terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan memindai peserta ini lagi dalam waktu satu atau dua tahun,” imbuhnya.
Pertanyaan lain adalah apakah hasilnya berlaku untuk orang yang pernah menderita COVID-19 belakangan ini? Peneliti mencatat, peserta penelitian terinfeksi lebih awal dalam pandemi, sebelum munculnya varian Delta, dan kemudian Omicron.
“Plus,” kata Hellmuth, “sekarang ada vaksin, dan penelitian terbaru menunjukkan vaksinasi mengekang kemungkinan mengembangkan Long COVID.”
Sayangnya penelitian itu tidak menjelaskan bagaimana vaksinasi COVID dapat mempengaruhi perubahan otak. (BS)