Berandasehat.id – Hipertensi umumnya identik dengan tekanan darah tinggi, jika tidak terkontrol bisa menimbulkan masalah serius yang tak jarang mengancam nyawa, misalnya stroke. Namun hipertensi ternyata bukan hanya soal tekanan darah tinggi, khususnya saat dihubungkan dengan hipertensi paru.

Perlu diketahui, hipertensi paru merujuk pada kelainan patofisiologi pada pembuluh darah paru yang dapat menyebabkan komplikasi klinis dengan penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah) dan pernapasan. 

Disampaikan pakar kardiologi anak Rumah Sakit Adam Malik Medan, dr. Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A(K), penyakit hipertensi paru juga banyak dialami oleh anak-anak. Karenanya, gejala hipertensi paru pada anak penting untuk dikenali sedini mungkin. “Meskipun tidak spesifik, namun gejala hipertensi paru dapat berupa sesak saat beraktivitas, mudah lelah, lemas, nyeri dada, pusing, dan kadang disertai batuk,” terang Rizky dalam Media Health Forum (MHF) dengan topik ‘Kenali Gejala Hipertensi Paru pada Anak dan Cara Penanganannya’ yang digelar Pfizer Indonesia, baru-baru ini.

Ilustrasi hipertensi paru pada anak (dok. istimewa)

Gejala lain hipertensi paru pada anak mungkin melibatkan hemoptisis (batuk berdarah dari saluran pernapasan), sindrom Ortner atau suara serak dari pita suara, dan aritmia atau gangguan irama jantung juga dapat terjadi, namun jarang.

Rizky menambahkan, karena penyakit ini belum banyak dikenali, pasien anak yang terdiagnosis hipertensi paru di Indonesia masih terhitung sedikit hingga saat ini. “Karenanya, penyakit hipertensi paru ini perlu dikenali dan dipahami lebih lanjut oleh masyarakat karena merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak hanya terpengaruh oleh penyakit bawaan, namun juga sangat terpengaruh oleh gaya hidup dari pasien dan konsumsi obat-obatan tertentu,” imbuhnya.

Dilansir dari Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi Pulmonal Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2021), hipertensi paru memang tergolong penyakit yang jarang ditemukan. Angka prevalensi penyakit ini di seluruh dunia hanya sebesar 20-70 juta orang dari total populasi dunia sekitar 7,7 miliar.

Rizky lebih lanjut menjalaskan, hipertensi paru sejak usia dini umumnya ditandai dengan peningkatan tekanan rerata arteri pulmonalis (mean pulmonary artery pressure/mPAP) di atas normal, yaitu 20 mmHg dan peningkatan tahanan vaskular paru (pulmonary vascular resistance/PVR) di atas normal, pada kondisi istirahat. 

Komplikasi Penyakit Jantung Bawaan

Dokter spesialis kardiologi anak itu lebih lanjut menjabarkan, pada kasus spesifik, hipertensi paru juga dapat menjadi salah satu komplikasi dari penyakit jantung bawaan dengan gejala dan tanda-tanda tahap awal yang biasanya tidak spesifik atau tidak terdeteksi pada bayi baru lahir. 

Diakui Rizky, hal ini menyebabkan tantangan tersendiri bagi para tenaga medis untuk menetapkan diagnosis dini terhadap penyakit hipertensi paru yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan. Hal ini ditambah dengan keterbatasan keahlian dan infrastruktur kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk di Indonesia, sehingga banyak pasien hipertensi paru yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tidak terdeteksi hingga timbul komplikasi yang memerlukan perhatian medis yang lebih serius.

Guna mendeteksi dini hipertensi paru pada anak. Rizky mendorong para orang tua berkonsultasi dengan dokter apabila anak memiliki risiko dan gejala hipertensi paru. Tujuannya tak lain agar mendapatkan penanganan tepat sesegera mungkin setelah

diagnosis. Pasalnya, bila jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, hipertensi paru dapat menyebabkan munculnya komplikasi dan bisa berakibat fatal hingga menyebabkan kegagalan fungsi paru dan jantung bagian kanan. 

Penanganan Hipertensi Paru

Penegakan diagnosis hipertensi paru pada pasien anak penting dilakukan guna mendeteksi dini penyakit dan mengambil langkah penanganan yang tepat bagi pasien anak. 

Pakar Kardiologi Anak dan Penyakit Jantung Bawaan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), menekankan bila dicurigai anak memiliki hipertensi paru, maka pemeriksaan utama untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan kateterisasi jantung kanan, dengan mengukur tekanan di arteri pulmonal dan jantung kanan anak melalui kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah di paha yang diteruskan ke jantung. 

“Selain itu, diagnosis penyakit hipertensi paru pada anak pada umumnya dilakukan melalui anamnesis (tanya jawab), pemeriksaan riwayat secara rinci, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium, termasuk skrining dengan elektrokardiogram (EKG) dan ekokardiografi,” terang Radityo.

Bila diperlukan, berbagai pemeriksaan tambahan lainnya juga dapat dilakukan seperti foto toraks dan pencitraan CT scan toraks.

Lantas, apakah hipertensi paru bisa dicegah? Sayangnya, pencegahan dan penanganan penyakit hipertensi paru khususnya pada pasien anak di negara-negara berkembang pada umumnya masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain keterbatasan infrastruktur kesehatan yang canggih/keahlian tenaga medis, kurangnya kesadaran masyarakat, serta masih rendahnya strategi skrining hipertensi paru yang tepat waktu. 

Selain itu, perawatan antenatal/kehamilan yang kurang baik, hingga ketersediaan obat hipertensi paru yang tidak dapat diprediksi masih menjadi tantangan dalam penanganan hipertensi paru. Karena sejumlah tantangan inilah kerap ditemukan penyakit hipertensi paru memiliki prognosis yang buruk, yakni angka kematian dan rawat ulang pasien tinggi. Namun demikian, optimalisasi pengobatan hipertensi paru dalam dekade terakhir ini telah berkontribusi besar terhadap peningkatan prognosis pasien, khususnya pada anak.

Kabar baiknya, di Indonesia, obat-obatan tertentu yang telah tersedia dapat diberikan untuk membantu mengurangi hipertensi paru pada pasien anak, seperti golongan Prostasiklin, yaitu Beraprost, dan juga golongan Inhibitor Phosphodiesterase Type 5 (PDE5i), yaitu Sildenafil, yang telah disetujui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) beberapa waktu lalu sebagai obat hipertensi paru. 

Selain obat, terapi simtomatik berupa pemberian oksigen untuk membantu pernapasan serta terapi diuretik guna mengeluarkan kelebihan cairan di tubuh juga dapat meringankan gejala hipertensi paru. 

Radityo menyampaikan, pengobatan tersebut diharapkan dapat memperlambat perkembangan penyakit atau bahkan mengembalikan fungsi jantung dan paru ke normal – meskipun hipertensi paru cenderung tidak dapat disembuhkan. 

Pasien yang terdiagnosis hipertensi paru memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama bahkan seumur hidup. “Pasien juga perlu rutin melakukan evaluasi tekanan arteri pulmonal berkala untuk menilai progresivitas penyakit dan menilai kecukupan dosis obat yang diberikan,” pungkas Radityo Prakoso. (BS)