Berandasehat.id – Pandemi COVID-19 telah mendorong ilmuwan bekerja ekstra keras untuk memecahkan misteri wabah yang telah meminta jutaan korban meninggal dunia dalam kurun dua tahun terakhir.

Mengamati 190 negara, para peneliti dari Imperial College London menemukan bahwa gejala COVID-19, termasuk tiga serangkai batuk, demam, dan kehilangan penciuman, bervariasi di setiap negara dan adanya kondisi kesehatan yang mendasarinya/penyakit penyerta seperti asma dan diabetes. Ini adalah studi pertama yang mengeksplorasi gejala di antara mereka yang dites positif COVID-19 berdasarkan geolokasi dan penyakit kronis sudah ada.

Penelitian yang dipimpin oleh Imperial College London dan diterbitkan di eClinicalMedicine, menganalisis data tentang gejala yang dilaporkan oleh 78.299 orang di 190 negara antara April hingga September 2020. Dari jumlah tersebut, 64.699 menunjukkan gejala dan belum diuji, 7.980 dinyatakan positif, dan 5.620 dinyatakan negatif.

Anosmia termasuk salah satu gejala Covid-19 (dok. istimewa)

Para peneliti di Imperial’s Global COVID Observatory bermitra dengan pemetaan gejala online yang disebut Healthily – sebelumnya dikenal sebagai Your.MD – dalam mengumpulkan dan menganalisis data gejala yang dilaporkan sendiri.

Para peneliti mengatakan studi ini menciptakan kerangka kerja untuk penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data yang dilaporkan sendiri secara global dalam mengidentifikasi paralel antara kondisi kesehatan, wilayah dunia, dan profil gejala penyakit menular.

Penulis senior Profesor Aldo Faisal, dari Imperial’s Departments of Computing and Bioengineering, menyampaikan bahwa memahami variasi gejala berdasarkan lokasi dan kesehatan sangat penting untuk praktik klinis. “Hal ini dapat membantu mempercepat diagnosis, memprediksi hasil lebih tepat, dan menargetkan pengobatan, terutama dengan munculnya varian baru,” ujarnya.

Penulis senior bersama Profesor Céire Costelloe, dari Imperial’s School of Public Health, menambahkan ‘snapshot’ global seperti ini dapat membantu menginformasikan perawatan dokter terhadap pasien, yang karena faktor usia dan kondisi kesehatan yang sudah ada seperti asma atau diabetes kemungkinan akan mempengaruhi gejala dan hasil COVID-19. “Pendekatan ini juga dapat membantu menginformasikan pesan dan praktik kesehatan masyarakat dengan memantau secara real-time efek wabah atau varian baru pada suatu populasi,” terangnya.

Pemetaan gejala itu diumumkan terutama di media sosial dan disurvei baik individu yang diuji maupun yang belum diuji sehingga negara-negara dengan infrastruktur pengujian yang buruk masih dapat disertakan. Karena data tersebut mewakili gambaran gejala dari tahap awal pandemi, gejala tersebut hanya terkait dengan varian SARS-CoV-2 awal yang beredar antara April hingga September 2020 dan tidak terkait dengan varian berikutnya seperti Delta atau Omicron.

Respons terbanyak berasal dari India (22,5%), Meksiko (16,8%), Pakistan (9,5%), Filipina (9%), Inggris (5,7%), dan Brasil (5,5%). Para peneliti menggunakan teknik pembelajaran mesin, yang disebut pengelompokan untuk mengidentifikasi kesamaan antara profil gejala dari berbagai negara dan kondisi kesehatan yang mendasarinya.

Gambaran Prevalensi Gejala

Responden yang dites positif lebih mungkin melaporkan nyeri sendi, kehilangan nafsu makan, dan kehilangan penciuman dan perasa daripada responden yang dites negatif atau memiliki gejala tetapi belum diuji. 

Lebih sedikit responden yang dites positif COVID-19 melaporkan sakit tenggorokan dan hidung tersumbat daripada mereka yang dites negatif atau memiliki gejala tetapi tidak diuji.

Dari responden yang positif COVID-19, sebanyak 60,3% tidak memiliki penyakit kronis yang mendasari/penyakit penyerta, 30,7% memiliki satu penyakit kronis yang sudah ada, 7,1% melaporkan dua penyakit kronis dan 1,9% melaporkan tiga atau lebih penyakit yang sudah ada. Tingkat penyakit kronis yang sudah ada ini mencerminkan responden yang dites negatif atau memiliki gejala tetapi tidak diuji.

Kondisi Kesehatan yang Sudah Ada/Komorbid

Responden dengan kondisi paru yang sudah ada dan/atau diabetes tipe 2 lebih mungkin untuk melaporkan beberapa gejala dibandingkan responden tanpa kondisi itu.

Responden positif COVID-19 dengan asma lebih mungkin melaporkan kelelahan (62,3% vs 49,8%), sakit kepala (56,2% vs 45,8%), sesak napas (25,3% vs 13,7%), produksi sputum/dahak (17,4% vs 10,7%), nyeri dada (12,4% vs 6,8%), kedinginan (26,8% vs 17,1%), atau diare (31,3% vs 22,7%), dibandingkan dengan responden positif COVID-19 yang tidak memiliki penyakit penyerta/komorbid.

Responden positif COVID-19 dengan penyakit paru yang sudah ada – seperti PPOK – lebih mungkin melaporkan nyeri dada (15,2% vs 6,8%) dan dahak (22,2% vs 10,7%) sebagai gejala, tetapi lebih kecil kemungkinannya untuk melaporkan kehilangan penciuman dan rasa (29,3% vs 46,0%) dibandingkan dengan responden positif COVID-19 yang tidak memiliki penyakit penyerta.

Sedangkan responden positif COVID-19 yang mengidap diabetes tipe 2 lebih mungkin melaporkan peningkatan suhu (26,1% vs 17,6%).

Kehilangan penciuman dan rasa lebih mungkin dilaporkan sebagai gejala di antara responden positif COVID-19 tanpa penyakit penyerta (46,0%) dibandingkan dengan responden yang memiliki kondisi paru (29,3%), diabetes tipe 1 (21,3%), diabetes tipe 2 (33,5%), atau tekanan darah tinggi (37,8%).

Gejala COVID-19 di Berbagai Negara

Beberapa negara melaporkan nyeri dada dan sendi lebih sering daripada yang lain. Responden di Brasil lima kali lebih mungkin melaporkan nyeri dada dan nyeri sendi dibandingkan negara lain. Sedangkan responden di Pakistan empat kali lebih mungkin melaporkan nyeri dada dan lima kali lebih mungkin melaporkan nyeri sendi.

Responden di India tiga kali lebih mungkin melaporkan nyeri dada dan empat kali lebih mungkin melaporkan nyeri sendi. 

Profil gejala Inggris berbeda dari sebagian besar negara, yang menurut para peneliti mungkin karena respondennya secara keseluruhan lebih tua daripada negara lain. Responden di Inggris lima kali lebih mungkin melaporkan sesak napas dan dahak, dan tiga kali lebih mungkin melaporkan kedinginan, kelelahan, dan sakit kepala.

Penelitian ini memberikan gambaran global tentang gejala, suatu pendekatan yang dapat membantu melacak variasi gejala dan mengidentifikasi perubahan yang terkait dengan varian atau status vaksinasi di masa mendatang. 

Penulis pertama Dr. Balasundaram Kadirvelu, dari Departemen Komputasi, mengatakan meskipun banyak di seluruh dunia telah dirawat di rumah sakit, kebanyakan orang yang tertular COVID-19 merawatnya di rumah tanpa kontak klinis. “Data yang dilaporkan sendiri ini memungkinkan kami untuk menangkap profil gejala pasien yang tidak melakukan kontak dengan layanan kesehatan. Dengan melakukan itu, mereka menawarkan perspektif baru tentang pandemi,” terangnya.

Sedangkan Profesor Faisal menambahkan, contoh ilmu warga dan kesehatan masyarakat digital ini dapat membantu kita pulih dari pandemi saat ini dan menginformasikan respons terhadap pandemi di masa depan.

Penelitian ini didanai oleh UK Research and Innovation (UKRI) dan National Institute for Health Research (NIHR). (BS)