Berandasehat.id – Hampir sepertiga penderita stroke yang tidak diketahui penyebabnya memiliki gangguan irama jantung yang dapat diobati untuk mencegah stroke lain, demikian temuan studi NOR-FIB yang dipresentasikan di EHRA 2022, kongres ilmiah European Society of Cardiology (ESC).
Dalam studi tersebut, pasien stroke dimonitor irama jantungnya selama 12 bulan dengan perangkat implan kecil. Ternyata, lebih dari 90% pasien stroke yang ditemukan memiliki fibrilasi atrium tidak memiliki gejala gangguan irama jantung, sebut penulis studi Dr. Barbara Ratajczak-Tretel dari Stfold Hospital Trust, Sarpsborg, Norwegia.
“Bagi banyak pasien, fibrilasi atrium yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati tanpa pemantauan terus menerus, menempatkan mereka pada risiko stroke lain,” imbuh Dr. Barbara Ratajczak-Tretel.

Kebanyakan stroke adalah iskemik, yang berarti terjadi penyumbatan yang menghentikan aliran darah ke otak. Pada sekitar satu dari empat stroke iskemik penyebabnya tidak dapat ditentukan. “Terapi terbaik untuk mencegah stroke lain tergantung pada penyebab yang mendasarinya,” kata Dr. Ratajczak-Tretel dikutip dari MedicalXpress.
Dia menambahkan, mereka dengan fibrilasi atrium harus menerima antikoagulan oral tetapi diagnosis pasti diperlukan sebelum obat ini dapat diresepkan. “Fibrilasi atrium dapat bersifat sementara dan tanpa gejala sehingga sulit untuk dideteksi,” terang Dr. Ratajczak-Tretel.
Studi Nordic Atrial Fibrillation and Stroke (NOR-FIB) meneliti kemampuan pemantauan irama jantung terus menerus selama satu tahun dengan perangkat implan untuk mengidentifikasi fibrilasi atrium pada pasien dengan stroke iskemik atau stroke ringan (serangan iskemik transien; TIA) yang tidak diketahui etiologinya (penyebabnya).
Studi observasional prospektif melibatkan 259 pasien tanpa riwayat fibrilasi atrium yang terdokumentasi dari 18 pusat di Norwegia, Denmark dan Swedia. Semua pasien menerima monitor jantung, yang ditanamkan rata-rata sembilan hari setelah stroke atau TIA. Perangkat ini sepertiga ukuran baterai AAA dan dimasukkan secara subkutan di atas jantung dengan anestesi lokal.
Data dari perangkat ditransmisikan secara otomatis melalui jaringan yang aman ke laboratorium inti dari dua ahli saraf dan dua ahli jantung dan dievaluasi seminggu sekali.
Ketika fibrilasi atrium yang berlangsung setidaknya dua menit terdeteksi, laboratorium inti menghubungi dokter pasien yang kemudian meresepkan antikoagulan oral. Pasien ditindaklanjuti selama 12 bulan.
Selama periode pemantauan 12 bulan, sebanyak 74 pasien (29%) didiagnosis dengan fibrilasi atrium, 93% di antaranya tidak menunjukkan gejala. Antikoagulasi oral direkomendasikan untuk semua pasien dengan fibrilasi atrium dan pada 12 bulan, 72 dari 74 pasien (97%) menjalani terapi ini.
Dalam perjalanan tindak lanjut, dua stroke terjadi pada kelompok fibrilasi atrium (keduanya sebelum episode fibrilasi atrium pertama terdeteksi dan antikoagulasi dimulai) dan sembilan pada pasien tanpa fibrilasi atrium, namun perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
Komplikasi perangkat dialami oleh tiga pasien (1,2%). Satu pasien mengalami infeksi di tempat implantasi dan perangkat harus dilepas. Satu pasien mengalami robekan kulit dan perangkat harus dipindahkan ke posisi lain. Pasien ketiga mengalami hematoma subkutan (memar).
Ratajczak-Tretel mengatakan dalam penelitian ini pihaknya menemukan bahwa monitor jantung implan efektif untuk mendiagnosis fibrilasi atrium yang sudah ada, yang diidentifikasi pada 29% pasien dengan stroke atau TIA penyebab tak tentu.
“Ada kemungkinan penyebab dari stroke atau TIA terdeteksi, pasien ini dapat memulai antikoagulasi oral. Fibrilasi atrium tidak menunjukkan gejala dalam banyak kasus dan mungkin tidak terdeteksi atau diobati tanpa pemantauan terus menerus,” pungkas Dr. Ratajczak-Tretel. (BS)