Berandasehat.id – Terpapar COVID-19 tampaknya meningkatkan risiko seseorang mengembangkan kasus herpes zoster. Para peneliti menemukan bahwa orang berusia 50 dan lebih tua yang terinfeksi COVID 15% lebih mungkin untuk mengembangkan herpes zoster, dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terinfeksi. Risiko itu naik menjadi 21% pada orang yang dirawat di rumah sakit dengan kasus COVID parah.

“Penting bagi profesional perawatan kesehatan dan orang berusia di atas 50-an menyadari potensi peningkatan risiko ini sehingga pasien dapat didiagnosis dan diobati lebih awal jika mereka mengembangkan herpes zoster setelah infeksi COVID-19,” kata pemimpin peneliti Dr. Amit Bhavsar, direktur penelitian klinis dan pengembangan perusahaan farmasi GSK di Brussel dikutip dari laman Healthday.

Ilustrasi Herpes Zoster (dok. istmewa)

Herpes zoster adalah ruam kulit yang menyakitkan yang terjadi pada orang yang sebelumnya pernah menderita cacar air. “Virus yang menyebabkan cacar air, Varicella zoster, bersembunyi di sel saraf manusia setelah mereka mengatasi kasus awal penyakit menular itu,” jelas Dr. Carrie Kovarik, profesor dermatologi dan kedokteran di Perelman School of Medicine University of Pennsylvania.

Dalam beberapa kasus, Varicella zoster akan muncul kembali di kemudian hari dan menyebabkan herpes zoster, biasanya karena sistem kekebalan yang melemah.

“Sel T yang menahan virus cacar air,” kata Kovarik. “Ketika sel-T tidak bekerja, misalnya menderita penyakit, stres atau beranjak tua, maka virus cacar air dapat keluar ke saraf dan ke kulit.”

Karena itu, masuk akal jika COVID dapat memicu herpes zoster, karena virus tersebut menimbulkan malapetaka pada sistem kekebalan tubuh, imbuh Kovarik.

“Saya pasti pernah melihat pasien yang memiliki satu atau dua episode [herpes zoster] dalam setahun yang belum pernah menderita penyakit ini sebelumnya tetapi terinfeksi COVID,” kata Kovarik. “Dan saya memiliki banyak pasien seperti ini, dan itu terjadi pada banyak pasien.”

Dr. Amesh Adalja, seorang sarjana senior di Pusat Keamanan Kesehatan Johns Hopkins, setuju. “Ini bukan temuan yang mengejutkan karena SARS-CoV-2 diketahui menyebabkan disfungsi kekebalan dan stres fisiologis,” ujarnya. “Stres fisiologis dan fungsi kekebalan yang tidak teratur merupakan faktor yang diketahui dalam wabah herpes zoster.”

“Hampir semua orang dewasa di atas usia 50 pernah menderita cacar air, dan karenanya berisiko terkena herpes zoster,” terang Bhavsar.

Untuk penelitian ini, Bhavsar dan rekan-rekannya membandingkan data medis dari hampir 400.000 pasien COVID berusia 50 tahun ke atas dengan lebih dari 1,5 juta orang yang tidak pernah tertular COVID.

Tidak seorang pun di kedua kelompok telah divaksinasi terhadap COVID atau herpes zoster. Para peneliti menemukan peningkatan risiko herpes zoster di antara pasien COVID yang bertahan setidaknya enam bulan setelahnya.

Peneliti menekankan, karena orang yang divaksinasi herpes zoster dikeluarkan dari penelitian, tidak diketahui apakah vaksin herpes zoster dapat membatasi atau menghilangkan risiko ini dari COVID.

Kovarik khawatir bahwa infeksi COVID yang parah dapat mengatasi kekebalan yang diberikan oleh vaksin herpes zoster, terutama pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah.

“Vaksin herpes zoster hanyalah dosis vaksin cacar air yang lebih kuat, yang mencoba meningkatkan sel-sel kekebalan dan menunjukkan kepada mereka virusnya sehingga tubuh dapat memiliki aktivitas kekebalan terhadap virus itu,” kata Kovarik. 

“Orang-orang yang memiliki beberapa masalah kekebalan, mungkin reaksi kekebalan mereka tidak meningkat dengan baik terhadap vaksin, atau COVID sangat kuat sehingga dapat membanjiri respons kekebalan terhadap herpes zoster,” imbuhnya.

Karenanya, orang-orang yang khawatir terkena herpes zoster harus mempertimbangkan untuk mendapatkan vaksin COVID dan herpes zoster. “Angka-angka telah menunjukkan bahwa vaksin COVID membantu mencegah rawat inap dan kematian, jadi mendapatkan vaksin COVID mestinya dapat mencegah kasus yang parah, yang diharapkan dapat mencegah [herpes zoster] pada pasien tersebut,” terang Kovarik.

Studi baru ini telah diterbitkan di jurnal Open Forum Infectious Diseases. (BS)