Berandasehat.id – Sebuah studi yang diterbitkan oleh British Medical Journal (BMJ) memberikan ringkasan bukti terkini tentang risiko peradangan jantung (miokarditis dan perikarditis) setelah vaksinasi mRNA untuk melawan virus penyebab COVID-19.
Tinjauan lebih dari 8.000 kasus yang dilaporkan dari 46 studi oleh para peneliti di Kanada mengonfirmasi laporan sebelumnya bahwa miokarditis jarang terjadi, tetapi ditemukan kasus tertinggi di antara laki-laki muda segera setelah vaksin dosis kedua, dan mungkin lebih tinggi setelah vaksin mRNA Moderna daripada setelah vaksin Pfizer.
Studi juga menunjukkan bahwa meskipun kasusnya sebagian besar ringan, risiko miokarditis atau perikarditis mungkin lebih rendah bila dosis kedua diberikan lebih dari 30 hari setelah dosis pertama.

Namun, para peneliti memperingatkan bahwa secara umum, bukti kepastiannya rendah dan mengatakan temuan ini harus dipertimbangkan di samping manfaat vaksinasi secara keseluruhan.
Miokarditis (radang otot jantung) dan perikarditis (radang kantung berisi cairan yang mengelilingi jantung) jarang terjadi tetapi kondisi serius, biasanya dipicu oleh infeksi virus. Laporan kondisi ini diperoleh setelah vaksinasi mRNA COVID-19 mendorong pengawasan dan penelitian yang sedang berlangsung. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat miokarditis setelah vaksin mRNA paling tinggi pada remaja laki-laki dan laki-laki dewasa muda (50-139 kasus per juta pada usia 12-17 tahun dan 28-147 kasus per juta pada usia 18-29 tahun).
Untuk anak perempuan dan laki-laki berusia 5-11 tahun dan perempuan berusia 18-29 tahun, tingkat miokarditis setelah vaksinasi dengan Pfizer mungkin kurang dari 20 kasus per juta.
Untuk individu berusia 18-29 tahun, miokarditis mungkin lebih tinggi setelah vaksinasi dengan Moderna dibandingkan dengan Pfizer, dan untuk usia 12-39 tahun, miokarditis atau perikarditis mungkin lebih rendah bila dosis kedua diberikan lebih dari 30 hari setelah dosis pertama.
Data khusus untuk pria berusia 18-29 tahun menunjukkan bahwa interval pemberian dosis mungkin perlu ditingkatkan menjadi lebih dari 56 hari untuk menurunkan tingkat kondisi ini secara substansial.
Dengan demikian, para peneliti mengatakan preferensi memberikan vaksin Pfizer daripada Moderna dan memperpanjang interval pemberian dosis mungkin bermanfaat bagi orang yang lebih muda.
Tetapi peneliti mengatakan perjalanan klinis miokarditis pada anak-anak 5-11 tahun, setelah dosis ketiga, dan bagi mereka dengan miokarditis sebelumnya setelah vaksinasi mRNA sebagian besar tidak diketahui.
Mereka juga mengakui beberapa keterbatasan tinjauan studi, termasuk basis literatur COVID-19 yang berkembang pesat dan potensi kesalahan diagnosis. Namun, strategi pencarian peer-review (tinjauan sejawat) yang komprehensif dan penggunaan berbagai sumber informasi memungkinkan mereka untuk menangkap data terbaru.
“Ketika pandemi COVID-19 memasuki tahun ketiga, pengawasan lanjutan terhadap miokarditis setelah vaksin mRNA, terutama pada usia yang lebih muda, setelah dosis tiga (dan dosis berikutnya) dan dalam kasus-kasus sebelumnya diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan lanjutan untuk vaksin booster COVID-19,” ujar peneliti.
Mereka juga menyerukan pemantauan tambahan dari orang-orang dengan kondisi penyakit penyerta yang relevan, tindak lanjut jangka panjang dari pasien dengan miokarditis, dan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pemahaman tentang mekanisme miokarditis dan perikarditis setelah vaksinasi.
Sejumlah besar studi yang ditinjau ini terus menunjukkan bahwa vaksin mRNA COVID-19 dikaitkan dengan risiko miokarditis dan perikarditis akut yang jarang tetapi meningkat, kata para peneliti AS dalam editorial terkait.
Mereka menunjukkan bahwa ketidakpastian utama tetap ada, termasuk risiko yang terkait dengan booster, risiko terkait dengan vaksinasi primer pada anak kecil, dan hasil jangka panjang dari mereka yang mengalami miokarditis.
“Tetapi ketidakpastian ini harus ditempatkan dalam konteks manfaat vaksinasi yang substansial dan diterima secara luas,” simpul peneliti seperti dilaporkan laman MedicalXpress. (BS)