Berandasehat.id – Bisakah buah berwarna merah dengan rasa sedikit asam dapat membantu melindungi otak dari penyakit Alzheimer atau masalah kepikunan? Mungkin begitu, setidaknya menurut sebuah studi baru dari para peneliti di RUSH.
Peneliti RUSH menemukan bahwa senyawa bioaktif yang ditemukan dalam stroberi yang disebut pelargonidin mungkin terkait dengan lebih sedikit neurofibrillary tau kusut di otak. Tau kusut adalah salah satu ciri penyakit Alzheimer, yang disebabkan oleh perubahan abnormal dengan protein tau yang menumpuk di otak, demikian menurut studi teranyar yang diterbitkan di Journal of Alzheimer’s Disease pada 19 Juli 2022.
“Kami menduga sifat anti-peradangan pelargonidin dapat menurunkan peradangan saraf secara keseluruhan, yang dapat mengurangi produksi sitokin,” kata Dr Julie Schneider, penulis penelitian. Schneider adalah profesor dan ahli saraf di Pusat Penyakit Alzheimer Rush di Pusat Medis Universitas Rush di Chicago.

Sitokin sendiri merupakan protein yang diproduksi oleh sel dan dapat mengatur berbagai respons peradangan. Telah diketahui bahwa peradangan di otak telah dikaitkan dengan patologi Alzheimer seperti plak dan kusut. Data menunjukkan bahwa pelargonidin dapat melindungi otak yang menua imbas dari perkembangan patologi penyakit Alzheimer.
Di antara buah beri, stroberi adalah sumber pelargonidin yang paling melimpah. “Sementara pelagonidin harus diperiksa lebih lanjut untuk perannya dalam menjaga kesehatan otak pada orang dewasa yang lebih tua, ini memberikan perubahan sederhana yang dapat dilakukan siapa saja dalam hal pola makanan mereka,” kata Puja Agarwal, Ph.D., penulis studi dan ahli epidemiologi nutrisi di Rush Alzheimer’s Disease Center dan asisten profesor penyakit dalam di Rush University Medical Center.
Peneliti RUSH melihat data yang mereka peroleh dari studi jangka panjang yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh RADC, Rush Memory and Aging Project (MAP), yang dimulai pada tahun 1997. Terdapat total 575 peserta yang meninggal dengan informasi diet lengkap selama masa tindak lanjut dan otopsi otak yang rata-rata usia kematiannya adalah 91,3 tahun.
Sebanyak 452 orang bukan pembawa gen APOE 4 dan total 120 peserta dengan APOE 4, yang merupakan gen faktor risiko genetik terkuat untuk penyakit Alzheimer. Peserta dinilai terkait pola makan mereka menggunakan kuesioner frekuensi makanan hingga hampir 20 tahun masa tindak lanjut sebelum kematian dan evaluasi neuropatologis standar setelah kematian.
Selama penelitian, setiap orang menerima tes standar tahunan untuk kemampuan kognitif di lima area, yakni memori episodik, memori kerja, memori semantik, kemampuan visuospasial, dan kecepatan persepsi.
MAP melibatkan orang-orang berusia 65 tahun ke atas yang merupakan penghuni lebih dari 40 komunitas pensiunan dan unit perumahan umum senior di seluruh Illinois utara. Mereka yang mendaftar sebagian besar berkulit putih tanpa demensia (kepikunan) yang diketahui, dan semua peserta setuju untuk menjalani evaluasi klinis tahunan saat masih hidup dan otopsi otak setelah kematian.
Hasilnya sama setelah peneliti menyesuaikan dengan faktor lain yang dapat mempengaruhi memori dan keterampilan berpikir, seperti pendidikan, status APOE 4, vitamin E, dan vitamin C. Hubungan tersebut lebih kuat di antara mereka yang tidak menderita demensia atau gangguan kognitif ringan pada awal.
“Kami tidak mengamati efek yang sama pada orang dengan gen APOE 4 yang terkait dengan penyakit Alzheimer, tetapi itu mungkin karena ukuran sampel yang lebih kecil dari individu dalam penelitian ini yang memiliki gen tersebut,” kata Agarwal dikutip laman MedicalXpress.
“Studi ini bersifat observasional dan tidak membuktikan hubungan sebab akibat langsung. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami peran nutrisi dalam penyakit Alzheimer, tetapi penelitian ini memberi kita harapan tentang bagaimana komponen makanan tertentu seperti berry dapat membantu kesehatan otak,” tandas Agarwal. (BS)