Berandasehat.id – Ada alasan kuat mengapa merokok mentol membawa bahaya yang lebih besar ketimbang rokok biasa. Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA) mengusulkan pelarangan penyedap mentol dalam rokok awal tahun ini, beralasan aditif itu membuat rokok mentol lebih mudah digunakan, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

FDA mengharapkan manfaat kesehatan masyarakat dari larangan mentol yang sebagian besar dikonsumsi kalangan dewasa muda dan perokok kulit hitam. Orang Afrika-Amerika kemungkinan besar merokok mentol dan mengalami disparitas kesehatan terkait tembakau yang tidak proporsional.

Dr. J. Taylor Hays, Direktur Pusat Ketergantungan Nikotin Mayo Clinic, menjelaskan apa yang membuat rokok rasa mentol menjadi perhatian. Hampir 100 tahun yang lalu, rokok mentol pertama diciptakan. Produk itu selanjutnya dipasarkan sebagai ‘rokok tenggorokan’.

Ilustrasi stop merokok (dok. istimewa)

“Mentol terutama bertindak sebagai anestesi lokal ringan,” kata Dr. Hays.

Rokok mentol mungkin menambah rasa, tapi bukan itu intinya. Dr. Hays mengatakan efek mati rasa membuat asapnya tidak terlalu keras, sehingga mereka tidak mengalami banyak batuk, seperti iritasi di tenggorokan dan dada.

Sementara sedikit data menunjukkan bahwa mentol itu sendiri membuat ketagihan, Dr. Hays mengatakan bahwa ketika mentol digunakan untuk mengurangi efek iritasi, maka perokok bakal mendapatkan lebih banyak paparan nikotin. “Ini memungkinkan mereka untuk merokok lebih banyak, menghirup lebih dalam dan menahan asap lebih lama,” imbuhnya.

Namun berhenti merokok mentol mungkin tampak sulit. “Jika mentol meningkatkan paparan zat yang sangat adiktif, yakni nikotin, maka orang-orang yang menggunakan rokok mentol mungkin lebih kecanduan, lebih tergantung,” katanya.

Tetapi Dr. Hays mengatakan bahwa ketergantungan yang meningkat seharusnya tidak membuat siapa pun putus asa untuk berhenti merokok. “Mereka mungkin lebih bergantung, tetapi pendekatan yang kami ambil untuk pengobatan berhasil, terlepas dari jenis tembakau yang digunakan,” ujar Dr. Hays dikutip dari laman Mayo Clinic. (BS)