Berandasehat.id – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan yang tidak dapat disembuhkan (irreversible). Jumlah penyandangnya diprediksi mencapai 76 juta di seluruh dunia. Individu dengan glaukoma harus memeriksakan matanya secara teratur. Glaukoma mayoritas bersifat asimptomatik (tanpa gejala) sehingga sangat mungkin pasien tidak menyadari terjadinya penurunan fungsi penglihatan mereka.
Deteksi dini sangat berperan penting dalam mencegah progresivitas penyakit. Perlu diingat, kerusakan saraf mata karena glaukoma tidak dapat disembuhkan dan kebutaan akibat penyakit ini berlangsung permanen.
Diagnosis glaukoma ditegakkan melalui pemeriksaan tekanan bola mata (intraokular) dengan pemeriksaan luas penglihatan (Humphrey visual field) dan ketebalan retina nerve fiber layer (RNFL) atau biasa disebut lapisan serat saraf retina,melalui optical coherence tomography (OCT).
Saat ini deteksi dini glaukoma utamanya dilakukan melalui penipisan RNFL pada pemeriksaan OCT. Pemeriksaan ini perlu dilakukan secara serial dan tidak hanya sekali untuk mengetahui kerusakan RNFL yang terjadi.
Memahami situasi ini, dokter spesialis mata Dr. dr. Emma Rusmayani, Sp.M(K) dari JEC Eye Hospitals and Clinics. memberikan alternatif deteksi dini glaukoma melalui penanda biologis Ischemia Modified Albumin (IMA), yakni pemeriksaan uji penanda biologis iskemia (kurangnya aliran darah ke dalam organ tubuh tertentu) yang sudah umum dilakukan pada diagnosis penyakit kardiovaskular atau penyakit sistemik lainnya.

Emma mengatakan, patogenesis (proses perkembangan penyakit) yang terjadi pada glaukoma, salah satunya adalah proses iskemia kronik.” Pemeriksaan kadar IMA humor akuos bertujuan untuk menggambarkan kerusakan yang terjadi akibat proses iskemia tersebut,” ujarnya.
Pemeriksaan ini diharapkan dapat menjadi alternatif deteksi yang lebih dini pada glaukoma dibanding metode pemeriksaan yang sudah ada.
Dalam hal ini, Emma Rusmayani melalui temuannya, memberikan solusi dalam penanganan glaukoma melalui deteksi dini dengan metode yang sederhana dan harga yang relatif lebih terjangkau. “Penelitian yang saya lakukan bertujuan untuk memberikan solusi bagi individu penderita glaukoma maupun orang dengan faktor risiko untuk dapat mendeteksi lebih dini penyakitnya,” ujarnya.
Sampel diambil bukan melalui darah, akan tetapi dengan mengambil cairan humor akuos di dalam mata. “Di dalam cairan tersebut apabila terlihat hasil IMA yang tinggi, dapat disimpulkan sudah terjadi proses iskemia dan penipisan RNFL yang merupakan alarming sign dari pasien glaukoma,” terang Emma Rusmayani.
Emma menambahkan, prosedur IMA dapat dilakukan dengan mudah di poliklinik. “Dengan adanya proses yang mudah dan harganya yang cukup terjangkau, teknik ini dapat dapat mendeteksi adanya kerusakan mata akibat glaukoma lebih dini sehingga mencegah kebutaan,” tuturnya.
Pemaparan hasil penelitian secara rasional, sistematis dan empiris pada Ujian Terbuka, Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, baru-baru ini. Hal itu mengantarkan Dr. dr. Emma Rusmayani, SpM(K) meraih gelar doktor. (BS)