Berandasehat.id – Bayi dengan kelahiran prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami tengkes atau stunting. Yang memprihatinkan, Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi angka kelahiran prematur dan BBLR.

Disampaikan Dokter Anak Konsultan Neonatologi, Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K), dari 100 bayi yang lahir, ada 10 bayi lahir secara prematur dan 7 bayi dengan kondisi BBLR. “Berdasarkan penelitian di 137 negara berkembang, 32,5% kasus tengkes disebabkan oleh kelahiran prematur dan 20% kasus tengkes di Indonesia disebabkan oleh BBLR,” ujarnya dalam edukasi media virtual yang didukung Fresenius Kabi Indonesia, Senin (20/2/22023).

Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar dalam upaya menanggulangi tengkes ini. Pemerintah menargetkan penurunan angka prevalensi tengkes menjadi 14% dari 21,6% pada 2022 – angka itu masih belum memenuhi standar WHO terkait angka tengkes maksimal 20% di suatu negara.

Perlu diketahui, bayi lahir prematur berisiko untuk mengalami keterlambatan perkembangan (developmental delay), gangguan kognitif, kesulitan belajar dan gangguan perilaku. Selain itu, bayi prematur juga mengalami banyak masalah nutrisi seperti alergi dan intoleransi makanan. “Bayi prematur itu memiliki kebutuhan nutrisi lebih tinggi, laju metabolisme protein dan laju metabolik tinggi. Padahal organ mereka belum sepenuhnya matang (imatur) dan gudang penyimpanan nutrisi kecil,” ujar Prof Rinawati.

Bayi prematur juga lebih mengalami kesulitan makan dan rentan terkena penyakit. Untuk itu butuh penanganan khusus untuk ‘mengejar’ kenaikan berat badan. Asuhan nutrisi prematur di rumah sakit, misalnya RSCM,  dimulai sejak lahir dan dibagi berdasarkan usia kehamilan ketika bayi lahir yaitu kurang dari 28 minggu, antara 28-31 minggu dan di atas 32 minggu namun di bawah 37 minggu.

Jenis nutrisi enteral di RSCM terdiri dari pemberian air susu ibu, ASI dari donor dan pemakaian ASI dan human milk fortifier serta standar preterm formula. 

Prof Rina menyarankan orang tua untuk mendiskusikan dengan dokter dalam perawatan bayi prematur yang tepat agar dapat mencegah tengkes. “Orang tua juga penting memiliki pemahaman yang baik mengenai nutrisi bagi bayi prematur agar dapat bersinergi dengan rumah sakit dalam memberikan nutrisi yang tepat sehingga membantu mengurangi kejadian tengkes,” ujarnya.

Selain itu, pemantauan bayi perlu dilakukan rutin, mencakup pengukuran lingkar kepala, berat badan dan panjang badan sebagai upaya deteksi dini tengkes. “Saat ditimbang berat badan, anak-anak tidak boleh memakai baju agar diperoleh data yang tepat. Tidak boleh pakai ilmu kira-kira,” ujar Prof Rina.

Untuk mendata pengukuran lingkar kepala, berat badan dan panjang/tinggi badan, orang tua dapat menggunakan aplikasi PrimaKu, merupakan aplikasi tumbuh kembang anak di Indonesia hasil kerja sama antara Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Kementerian Kesehatan RI. “Dengan cara ini, kita dapat segera melakukan intervensi jika ada risiko atau tanda-tanda tengkes pada bayi,” pungkas Prof Rinawati. (BS)

Advertisement